ANAK-ANAKMU BUKANLAH ANAK-ANAKMU. MEREKA BERASAL DARIMU, TAPI MEREKA MILIK MASA MEREKA (Bagian 2)
Oleh : Haidar Bagir
Di akhir tulisan bagian 1 saya menyinggung soal time blindedness. Hal ini akan saya bahas dibagian-bagian lain setelah ini. Juga bersama berbagai problem kesehatan mental lainnya. Tapi, lebih dari itu, saya ingin mengatakan: di zaman kita hidup sekarang ini – yang di dalamnya peradaban kita telah menciptakan tekanan-tekanan yang begitu dahsyat kepada kehidupan keluarga dan anak, termasuk tuntutan kemapanan finansial. Tuntutan ini mencakup kemampuan memuasi kebutuhan-kebutuhan artifisial atau kemauan-kemauan yang tidak esensial; tekanan terhadap kesetiaan dalam kehidupan perkawinan; keterpecahan dan disorientasi psikologis akibat kecepatan perubahan yang dahsyat; kompetisi cut-throat dalam bisnis dan dunia kerja; konflik politik agama, ras, dan militer yang makin mengancam; bullying dalam pergaulan anak dan remaja; dsb – hampir-hampir bisa kita katakan bahwa tak seorang pun di masa kini yang benar-benar tak memiliki problem kesehatan mental. Perbedaannya mungkin hanya dari segi level keparahannya: kalau tidak parah (severe) atau moderat, setidaknya ringan (mild).
Ada juga masalah-masalah kesehatan mental yang tak selalu diketahui karena begitu banyaknya jenisnya, atau tak jelas penamaannya. Tapi baiklah kita mulai dengan menguraikan tingkat-tingkat kondisi kesehatan mental seseorang. Biasanya uraian tentang hal ini akan dimulai dengan level no distress (tidak ada tekanan psikologis) dan no mental health problem (tak ada masalah kesehatan mental).
Orang-orang dengan kesehatan mental baik seperti ini dicirikan oleh kehidupannya yang biaa disebut berbahagia. Tapi, dalam kenyataan, sebenarnya tak ada orang yang sepenuhnya berada di level ini. Selama-selamanya dalam hidupnya. Pasti ada masa-masa dia mengalami mental distress atau tekanan mental. Kalau pun memang dia tak memiliki masalah mental, setidaknya pasti ada masa-masa dia mengalami kesedihan karena kehilangan keluarga atau sahabat, mendapati mereka disergap penyakit yang berbahaya atau menyengsarakan, mengalami kegagalan, patah hati, dan masalah-masalah real sehari-hari lainnya. Inilah level kedua – yang di dalamnya kita berada. Yakni level mental distress.
Kesehatan mental pada manusia modern (-red-)
Tapi, saya khawatir, manusia-manusia di masa sekarang ini malah sudah naik ke level permasalahan mental yang lebih berat lagi. Yakni menderita penyakit (illness atau disorder) mental. Supaya kita menyadari seriusnya persoalan ini, WHO mencatat ada tak kurang dari 300 jenis penyakit mental ini (lalu, kita bisa menduga-duga, betapa tak kecilnya kemungkinan anak-anak kita mengalami satu atau lebih penyakit mental ini tanpa kita benar-benar menyadarinya?) Termasuk dalam level ini adalah orang-orang yang mengalami neurosis: yakni penyakit mental non-psikotik yang biasanya mengambil bentuk depresi atau kecemasan (anxiety), berbagai macam fobia, obsessive compulsive behavior (OCD), panic attack, bahkan juga penyakit makan (eating disorder), kecanduan obat psikotropika, gangguan kepribadian, trauma dll.
Melewati semuanya ini, ada paychotic disorder. Termasuk di dalamnya skizoprenia dan gangguan bipolar, yang hisa mengakibatkan delusi (waham), halusinasi, dan gejala-gejala lainnya. Meski secara proporsional penderita penyakit kejiwaan di level ini pasti lebih sedikit dibanding di level-level di bawahnya, saya berani mengatakan bahwa problem mental di level ini sudah jauh lebih merebak di masa kita sekarang dibanding di masa-masa sebelum ini.
Menurut sebagian penelitian, sedikitnya 1 dari 20 orang menderita mental disorder ini. Karenanya, kita sama sekali tak boleh meng-underestimate persoalan kesehatan mental anak dan remaja di masa kini. Sebab, jika tidak tertangani dengan baik, “sekadar” mental distress bisa melahirkan mental disorder atau mental ilness. Pada tingkatnya yang paling mengkhawatirkan, mental disorder atau mental illness ini dapat mendorong penderitanya untuk memiliki pikiran-pikiran yang suicidal atau bahkan benar-benar bisa melakukan tindakan bunuh diri. Bisa juga menggiring penderitanya untuk lari ke penggunaan dan kecanduan obat-obat psikotropika.
Kesehatan mental ANAK & PERAN ORANG TUA (-red-)
Maka, sebelum yang lain-lain, masyarakat – dalam hal ini, khususnya para orang tua – harus memahami persoalan ini dengan sebaik-baiknya. Pemahaman akan hal ini, yang membawa bersamanya kemampuan mengidentifikasi persoalan kesehatan mental pada diri anak-anaknya, akan merupakan modal yang niscaya bagi upaya komunikasi, pendidikan, dan parenting yang tepat. Dan bukannya malah melakukan kekeliruan-kekeliruan yang justru bisa merusak anak, yakni jika persoalan ini tak dipahami dengan baik, sehingga kita justru melakukan komunikasi, pendid ikan, dan parenting yang melahirkan atau, setidaknya, memperparah persoalan kesehatan mental anak-anak kita. Semoga Tuhan menolong kita (bersambung)