ANAK-ANAKMU BUKANLAH ANAK-ANAKMU. MEREKA BERASAL DARIMU, TAPI MEREKA MILIK MASA MEREKA bagian 1
Oleh : Haidar Bagir
05092021
Saat ini, menjadi orang tua adalah suatu pekerjaan yang tidak ringan. Bukan saja ekonomi makin sulit, gap generasi makin besar. Sedang kapasitas keilmuan orang tua pada umumnya juga tidak meningkat. Orang tua – sadar atau tidak – masih merasa bahwa anak-anak mereka hidup di dunia dan masa mereka. Kenyataannya jauh dari itu. Lingkungan pembentuk dan tantangan yang dihadapi anak-anak kita sudah berbeda jauh. Baik itu tingkat perkembangan ilmu pengetahuan – untuk tak menyebut teknologi – nilai-nilai budaya, moral, dan peradaban
Saya tidak sedang bicara apakah masa yang dulu lebih baik dari yang sekarang. Atau sebaliknya. Semua zaman punya kebaikan-kebaikan dan tantangan – tantangannya sendiri. Maka, orang tua, dalam segenap strugglenya untuk survive dan memastikan keluarganya sukses secara material, harus memastikan bahwa anak-anak mereka pun sukses secara sosial, psikologis, dan spiritual. Bahwa mereka tetap bisa memelihara kesejahteraan psikologis dan spiritual yang menjadi jaminan kebahagiaan mereka. Maka, orang tua harus punya waktu cukup untuk memelihara komunikasi dan intimasi dengan anak-anaknya. Gagasan tentang quality time memang bisa membantu, tapi tak bisa dijadikan alasan bagi orang tua untuk hanya memberi waktu sedikit bagi anak-anak. Kedua, orang tua harus paham situasi mental, kejiwaan, dan spiritual anak-anaknya, yang bisa jadi amat berbeda dengan situasi mental, kejiwaan, dan spiritual mereka sendiri. Lalu orang tua terus meng-update wawasan dan memperbaiki sikap dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak-anak mereka. Jika orang tua masih mempertahankan cara berpikir mereka, moralitas mereka, dan cara beragama mereka yang dulu, besar kemungkinan anak-anak mereka tak mau mengikuti. Masih bagus kalau mereka tak melakukan pembangkangan yang terang-terangan, kita bisa mendorong anak-anak kita menjadi munafik: seolah menjadi anak yang patuh di depan kita, tapi menyimpan pemberontakan, bahkan kekesalan kepada orang-tuanya. Maka, wahai para orang tua, terus belajarlah, jangan berhenti belajar, sesuaikan diri kalian dengan perubahan zaman dan pemikiran. Agar kalian bisa terus memelihara interaksi dan percakapan intelektual dengan anak-anak kalian. Termasuk dalam moralitas dan cara beragama. Sikap hanya menuntut kepatuhan tanpa pikir, apalagi untuk dogma-dogma keagamaan yang tak masuk akal – keras, sempit, kaku, apalagi mengandung kekerasan, siksa, antisains, dan defisit cinta dan empati – bisa berakibat anak-anak justru menjauh dari agama, dan Tuhan. Akibatnya, secara spiritual, anak-anak bisa mengalami kekosongan.
Kedua, orang tua perlu menyadari bahwa anak-anak sekarang sangat berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan mental. Sampai pada tingkat depresi. Konon, 1 dari 10 anak muda di zaman sekarang memiliki kecenderungan depresi. Belum lagi ada gangguan semacam bipolar, atau sedikitnya (adult) ADHD). Jika orang tua tidak paham tentang hal ini, lalu dengan serta merta menganggap anaknya malas, lemah, tidak gigih – hanya karena mereka terlihat tidak bergairah, banyak tidur, malas beraktivitas, maka ada risiko bahwa sikap kita untuk memeperbaiki itu semua, melainkan justru menambah frustrasi mereka dan malah bisa memperburuk keadaan. Apalagi kalau reaksi kita kemudian menjadi gampang marah, hypercritical, suka menceramahi atau menggurui, merasa sok baik, dan meremehkan. Mereka bisa makin depressed, penyakit mental yang mereka bisa justru makin parah. Masih bagus kalau tak lari kepada obat-obat penenang. Banyak yang tricky dalam situasi anak-anak kita terkait hal ini. Percayalah bahwa tidak jarang persoalan anak-anak kita ini amat kompleks. Salah- salah, kita justru akan bisa memperburuk keadaan. Misal, pernahkan Anda mendengar bahwa anak-anak yang mengidap ADHD membawa bersamanya – selain kesulitan fokus – problem emosional (mudah meledak)? Belum lagi apa yang disebut sebagai time blindedness – yang apabila tak kita pahami, bisa memperparah keadaan? (bersambung)