Enter your keyword

post

BISAKAH ORANG TAK BERPUASA TETAP “BERPUASA”? (Bagian 1) – Haidar Bagir

BISAKAH ORANG TAK BERPUASA TETAP “BERPUASA”? (Bagian 1) – Haidar Bagir

Tulisan ini saya buat sebagai renungan bagi diri saya sendiri, yang terpaksa bersedih tak bisa berpuasa pada beberapa hari awal bulan Ramadhan ini. Saya harus minum obat di siang hari. Meski alhamdulillah operasi katup jantung saya sejauh ini berhasil baik, saya terkena PTSD (Post Traumatic Stress Disorder). Inilah masalah kejiwaan yang sering muncul pada orang yang mengalami operasi besar penggantian kelep/katup jantung seperti saya. Sebetulnya kemungkinan ini sudah diperingatkan sebagian dokter saat saya akan memutuskan jenis operasi yang akan saya jalanI. Apakah operasi jantung terbuka – yang merupakan salah satu operasi terbesar dalam ilmu perjantungan – atau TAVI/TAVR, yang tak membutuhkan pembedahan. Risiko PTSD kemungkinan besar akan menimpa saya jika saya pilih operasi jantung terbuka. Dan kali ini saya merasakan akibatnya. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Apa gejalanya,? Murung sepanjang hari, lemas, malas berbuat apa saja, dan kehilangan nafsu makan. Tentu saya berusaha melawannya dengan berbagai cara. Fisik, mental, dan spiritual. Termasuk memaksa kan diri untuk tetap aktif di berbagai bidang yang saya geluti. Betapa pun juga obat tertentu tetap dibutuhkan. Setidaknya untuk sementara waktu. Setiap 6 jam sekali obat tsb harus saya konsumsi. Jadilah saya tak bisa menjalankan ibadah puasa di bulan puasa kali ini.
Hal ini membuat saya berpikir, mestikah saya kehilangan kesempatan mendapatkan pahala ibadah berpuasa tahun ini, karena alasan yang saya sebutan di atas?
Sebelum yang lain-lain, saya jadi mengingat, tentang perempuan-perempuan yang masih subur, yang juga harus tidak berpuasa seminggu karena menstruasi. Apakah dengan demikian secara matematis pahala mereka hanya tiga perempat pahala laki-laki yang berpuasa penuh?
Secara tak sengaja saya beberapa hari lalu membaca buku tentang keindahan wanita karya ‘Arif besar Muhammad Jawadi Amuli. Dalam buku yang lumayan tebal ini, beliau bukan saja berusaha dengan panjang lebar mengurai kan kemuliaan perempuan, Sedemikian empatiknya hal itu beliau lakukan sehingga terkesan beliau ingin membuktikan bahwa perempuan lebih mulia daripada laki-laki. Beliau tentu tak lupa menyitir apa yang disebut-sebut merupakan ucapan Imam Ali tentang (tiga) kekurangan perempuan, yang dimuat di Nahj al-Balaghah. Tapi beliau menafsirkannya sedemikian rupa sehingga hal itu tak bisa dipahami sebagai pernyataan universal Imam Ali akan kekurangan wanita. Bagaimana mungkin, pikir beliau? Sedang beliau melihat dengan mata kepala beliau sendiri selama waktu yang panjang kemuliaan ibu beliau Fatimah binti Asad, isteri Nabi saw, Khadijah binti Khuwailid, isteri beliau Siti Fatimah (dan Ummu Banin), dan tentu banyak perempuan suci lain. Antara lain dua perempuan utama lain selain Siti Khadijah dan Sitti Fathimah, yakni Sitti Asiyah dan Sitti Maryam. Akankah keimanan mereka menjadi kurang antara lain karena karena mereka tak bisa berpuasa seminggu lamanya di masa subur mereka? Tak mungkin!, seolah demikian Ayatullah Jawadi Amuli ingin memproklamasikan.
Nah, sebelum setelah ini saya sampaikan perspektif ibn ‘Arabi tentang puasa terkait dengan masalah yang saya bahas dalam artikel ini, saya ingin menduga-duga: Kalau pun betul selama seminggu menstruasi itu perempuan kehilangan kesempatan berpuasa, mestikah itu berarti mereka juga kehilangan akses kepada pahala ibadah puasa secara keseluruhan? Apakah status legal mereka tak berpuasa – termasuk melakukan makan dan minum, tentu sekadarnya saja – merampas dari mereka semua kesempatan untuk mendapatkan keutamaan berpuasa di bulan Ramadhan? Bersedekah, menahan hawa nafsu amarah, membaca doa-doa/wirid-wirid, melayani kebutuhan keluarganya yang berpuasa, dan banyak lagi amal-amal utama yang lain?
……
Belum lagi kalau kita masukkan ke dalam diskusi ini ibu hamil di usia tertentu yang dilarang dokter berpuasa? Mestikah seorang ibu yang menjaga kesehatan janin putranya di perutnya dengan penuh kehati-hatian dan cinta kasih, dirampas pahala puasanya di bulan Ramadhan tahun itu?
Nah, setelah itu semua, Marilah kita masuk ke dalam hakikat ibadah berpuasa, untuk menjawab pertanyaan di atas…
(Bersambung)